Seorang gadis kecil berlari-lari menuju Ka’bah, kemudian ia bergegas menuju kepada orang tua yang tengah bersujud. Dilihatnya punggung orang tua itu penuh kotoran unta. Secepat kilat ia membersihkannya. Bercampur rasa geram air mukanya menyiratkan kesedihan yang begitu dalam. Betapa tidak, kotoran unta itu membaluri hampir seluruh jubah ayahnya. Tanpa kenal takut sedikitpun gadis kecil itu menantang orang-orang yang sombong yang tengah berdiri di hadapannya. Air mukanya benar-benar menunjukkan kemarahan, tanpa perduli bahwa yang sedang dihadapinya adalah para begundal Quraisy yang tersohor kekejamannya.
Itulah Fathimah binti Muhammad saw. Masa kanak-kanaknya diwarnai oleh pergolakan sengit antara risalah suci yang dibawa ayahandanya menghadapi para penyembah berhala yang menginginkan sirnanya risalah tersebut. Setiap saat ia harus menyaksikan sikap pengingkaran masyarakatnya terhadap risalah tauhid yang diserukan ayahnya. Bukan hanya bersifat pasif, pengingkaran itu pun berupa celaan yang keji, gangguan fisik dan fitnah.
Dalam usia yang semuda itu seharusnya Fathimah tidak terlalu perduli, tetapi Allah telah memberikan kelebihan pada putri Rasulullah saw dari ibunda Khadijah ini. Ia dikaruniai sifat lemah lembut, cerdas dan berani. Kelebihan karunia itu jelas sesuatu yang tidak dimiliki anak-anak seusianya. Fathimah harus menyaksikan realita pahit yang melanda keluarganya, terutama gangguan pahit yang ditimpa oleh ayahnya. Ajaibnya, fenomena ini telah mampu dicerna oleh Fathimah kecil. Dan kondisi inilah yang telah melahirkan kedewasaan yang lebih dini dari pada anak-anak Fathimah.
Masa kanak-kanaknya adalah masa keprihatinan, dan masa kekhawatiran atas keselamatan sang pembawa risalah, Rasulullah saw. Untuk itulah Fathimah nyaris selalu memantau kemana ayahnya pergi. Fathimah pun harus turut merasakan pemboikotan terhadap keluarga bani Hasyim oleh masyarakat jahiliyah Quraisy selama 3 tahun.
Seusai masa pemboikotan tersebut, datanglah ujian baru dengan berpulangnya sang ibunda tercinta, Khadijah; ke pangkuan Allah swt. Dipandanginya orang yang sangat dikasihinya dengan air mata berderai tak tertahankan. Fathimah yang belum lagi puas dibuai oleh tangan lembut sang bunda, sedih sekali menghadapi kenyataan ini. Lembara kisah hidup Fathimah penuh dengan hal-hal yang menakjubkan.
Sejarah telah mencatat bagaimana ia telah menjadi seorang ibu rumah tangga yang selalu bekerja keras, bekerja dengan segenap kemampuannya untuk kepentingan keluarga dalam kondisi yang miskin. Pilihannya kepada Ali bin Abi Thalib tidak pernah membuatnya menyesal. Dan konsekwensi atas pilihannya itu pun ia jalani dengan penuh kesabaran, walaupun ia harus jatuh bangun menegakkan pilar-pilar rumah tangganya.
Ia sering kekurangan makan, tapi tak pernah lupa untuk membagi apa yang dimilikinya kepada orang yang lapar yang datang menghampiri pintu rumahnya. Fathimah sangat sayang kepada ayahnya, patuh pada suaminya serta setia kepada risalah yang diajarkan ayahnya.
Ketika kehidupan berangsur membaik dan makanan tersedia dengan cukup, kadang ia tetap tidak mempunyai apa-apa sepanjang hari. Hal itu disebabkan karena ia sering memberikan makanan kepada orang yang jauh lebih sengsara. Ia selalu berusaha untuk mengatakan tidak” terhadap keinginannya sendiri, sehingga dirinya tidak menjadi budak nafsu yang akan membawa kepada kebinasaan.
Dari Ali bin Abi Thalib, Fathimah melahirkan dua orang putra dan dua orang putri, Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kaltsum. Kelak putra-putri Fathimah ini pun tercatat sebagai mujahid dan mujahidah yang tangguh hingga akhir hayatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar